BAB
I PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Ajaran
“penyusuan anak” (Ar-Radha’ah)
secara tegas dikemukakan di dalam Kitab Suci al-Qur’an
dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadits Nabi SAW. Namun
sebagaimana umumnya ayat dalam al-Qur’an,
ajaran itu masih membuka ruang interpretasi (tafsir)
yang luas. Hampir semua kitab fiqh dari pelbagai madzhab membahas
topik ar-radha’ah
dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikah”.
Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok.
Pertama, pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi
mahram (haram dinikahi). Kedua,
pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak
terkait.
- Rumusan Masalah
- Bagaimanakah metode tafsir maudhu’i (tematik) ?
- Apakah pengertian Ar-Radha'ah?
- Apa dasar hukum Ar-Radha’ah menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits?
- Tujuan Pembahasan
- Mengetahui tentang metode tafsir maudhu’I (tematik).
- Mengetahui makna Ar-Radha’ah.
- Mengetahui dasar hukum Ar-Radha’ah menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits.
BAB
II PEMBAHASAN
- Metode Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Kata
maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’
yang
merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a
yang
berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti
maudhu’i yang dimaksud disini ialah yang dibicarakan atau judul
atau topik, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat
Al-Quran
yang mengenai satu judul
atau topik
pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang
didustakan atau dibuat-buat.
Adapun
pengertian tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat
al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama
membahas judul
atau topik
tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa
turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan
ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain,
kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.
Sejalan
dengan definisinya, maka ada beberapa langkah yang harus dilakukan
dalam rangka membahas suatu tema berdasarkan tafsir maudhu’i.
Langkah-langkah yang dimaksud seperti yang dipaparkan Abd al- Hayyi
al- Farmawi dan Mushthafa Muslim yang ringkasannya adalah sebagai
berikut :
- Memilih dan menetapkan topik (objek) yang akan dibahas berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an.
- Mengumpulkan/ menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas topik atau objek di atas.
- Mengurutkan tertib turun ayat-ayat tersebut berdasarkan waktu/ masa penurunannya
- Mempelajari penafsiran ayat-ayat yang telah dihimpun itu dengan penafsiran yang memadai dengan mengacu kepada kitab-kitab tafsir yang ada dengan mengindahkan ilmu munasabah dan hadist.
- Menghimpun hasil penafsiran di atas demikian rupa untuk mengistimbathkan unsur-nsur daripadanya.
- Kemudian mufassir mengarahkan pembahasan kepada tafsir al-ijmali (global) dalam memaparkan berbagai pemikiran dalam rangka membahas topik/ permasalahan yang ditafsirkan.
- Membahas unsur-unsur dan makna-makna ayat tersebut untuk mengkait-kaitkannya demikian rupa berdasarkan meode ilmiah yang benar-benar sistematis.
- Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al- Qur’an terhadap topic permasalahan yang di bahas.
- Pengertian Ar-Radha’ah
Secara
bahasa Ar-Radha’ah ( perbuatan
penyusuan ) memiliki arti
لمص
الثدي وشرب لبنه
yaitu
menghisap
Areola Mamma dan meminum susunya
Adapun
dari segi istilah adalah perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
susu
seseorang
perempuan atau susu yang masuk kedalam perut dan mengesani otak
seorang anak.
Secara
etimologis Ar-Radha’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik
isapan susu manusia maupun susu binatang,
bukan pengkhususan isapan susu oleh bayi manusia.
Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh
mendefiniskan Ar-Radha’ah sebagai sampainya ( masuknya ) air susu
manusia ( perempuan ) kedalam perut seorang anak ( bayi ) yang belum
berusia dua tahun 24 bulan1.
- Dasar Hukum Ar-Radha’ah
- Menurut Sumber Hukum Al-Qur’an
Setidak-tidaknya
ada enam buah ayat dalam al-Qur’ân yang membicarakan perihal
penyusuan anak (ar-radha’ah).
Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan
yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan
hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam
ayat ini, Ar-Radha’ah
juga
mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan
ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’ân maupun al-Hadits, kedua-duanya
sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”.
Al-Baqarah
: 233
233.
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.
Secara
umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT
kepada para ibu agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara
sempurna, yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua,
kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang
menyusui dengan cara yang ma’ruf.
Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak (sebelum
dua tahun)
asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat,
adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain
(al-murdhi’ah).
QS.
An-Nisa’ : 23
23.
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan2;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ayat
ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak (ar-radha’ah)
dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui
(al-murdhi’ah)
dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya
(ar-radhi’).
QS.
Al-Hajj : 2
2.
(ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah
semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan
gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu Lihat manusia
dalam Keadaan mabuk, Padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan
tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.
QS.
Al-Qashas : 7
7.
dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan
janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena
Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya
(salah seorang) dari Para rasul.
QS.
Al-Qashas : 12
12.
dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau
menyusui(nya) sebelum itu; Maka berkatalah saudara Musa: "Maukah
kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya
untukmu dan mereka dapat Berlaku baik kepadanya?".
Tiga
ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui
anaknya dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi
Musa. Dijelaskan betapa pentingnya air susu ibu (kandung)
untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah oleh Allah untuk
menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan
goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui
anaknya akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.
QS.
At-Thalaq : 6
6.
tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah
di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Sementara
ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak.
Pertama,
dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami
bagi sang istri muthallaqah (yang
sudah ditalak)
jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah yang memang
harus diberikan selama belum habis masa ‘iddah. Kedua,
adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang
menyusukan anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan secara baik dan
adil.
- Menurut Sumber Hukum Al-Hadits (Bilangan dan Kadar Susuan yang dapat Menjadikan Mahram)
عن
عائشة الله ر.ض
قالت:قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم:
لا
تحرم المصة أ المصتان
(رواه
مسلم)
Dari Aisyah Mengatakan bahwa?.” Nabi
SAW bersabda: “ Sekali susuan atau dua kali susuan atau sekali
hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan mahram.”(Riwayat
Muslim)
Dari Ummu Fadhl Mengatakan bahwa
“Seorang Arab pedalaman datang kepada Nabi yang ketika itu beliau
ada dirumahku, lalu orang itu berkata, “Wahai Nabi! Saya mempunyai
seorang isteri, lalu saya menikah lagi. Kemudian Isteriku yang
meyakini bahwa dia pernah menyusui isteriku yang muda dengan sekali
atau dua kali susuan?.” Nabi SAW
bersabda: “ Sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan
mahram.”(Riwayat Muslim)
عن
عائشة أنها قالت كان فيما أنزل من القرآن
عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس
معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه
و سلم وهن فيما يقرأ من القرآن (رواه
مسلم)
Aisyah RA berkata, semua susuan yang
menyebabkan kemuhriman adalah sepuluh kali susuan seperti yang
tersebut di sebagian ayat Al Qur’an . kemudian dinasakh menjadi
lima susuan oleh ayat Al Qur’an. Setelah itu Rasulullah wafat dan
ayat-ayat Al Qur’an tetap dibaca seperti itu.” (Riwayat
Muslim)
Dari Ibnu Mas’ud R.A, dia berkata:
Tida penyusuan yang dapat mengharamkan kecuali penyusuan yang
menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. (Riwayat Abu
Dawud)
Dari Ummu Salamah R.A, dia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak haram sesusuan kecuali masuk
pada usus, dan anak belum disapih. (Riwayat Tirmidzi. Di
sahihkannya bersama Hakim)
Dari Ziyad Assahmi, dia berkata:
Rasulullah SAW melarang meminta kepada perempuan yang bodoh untuk
menyusui. (
Riwayat Abu Dawud. Hadits ini Mursal karena Ziyad bukan Sahabat)
Dari beberapa hadis diatas ada beberapa hal
yang dapat kita garis bawahi, antara lain adalah:
- Bahwa sekali atau dua kali hisapan atau susuan tidaklah mengakibatkan terjadinya mahram.
- Kedua yang mengakibatkan Mahram adalah tiga kali hisapan atau susuan. ini berdasarkan hadis yang disampaikan Ummu Fadhl, dan pendapat ini adalah dari Abu Tsaur, Ibnu Munzir, dan Daud serta Ahmad dalam suatu riwayat lain.
- Bahwa yang dapat mengakibatkan Mahram adalah lima kali Susuan keatas, karena itu merupakan batas rasa lapar bagi bayi. ini yang dikemukakan beberapa Ulama dikalangan Sahabat seperti, Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, Atha’, dan Thawus, serta ulama Mazhab Yaittu Asy-Syafi’I, dan Ahmad. ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Aisyah.
- Dan Bahwa penyusuan yang mengharamkan juga harus masuk ke usus dan dapat menguatkan tulang.
- Anak tidak boleh disusukan pada perempuan yang kurang cerdas.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari penjelasan
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya terdapat unsur-unsur dan
batasan-batasan untuk bisa dikatakan Ar-Radha’ah, yaitu :
- Adanya air susu manusia (perempuan);
- Air susu itu masuk kedalam perut seorang bayi;
- Bayi tersebut belum berusia dua tahun.
Sedangkan untuk kadar susuan yang dapat
menjadikan mahram terdapat dua pendapat, yaitu :
- Hanafi dan Maliki berpendapat : Jika dilihat dari tafsir QS. An-Nisa’ : 23, dapat dikatakan bahwa penyusuan tidak ada batasan yang tegas, karena menurut mereka yang penting adalah air susu yang diisap itu sampai ke perut anak, sehingga memberikan energi dalam pertumbuhan anak.
- Saran
Bagi para ibu apabila sang ibu tidak
memungkinkan untuk menyusui anaknya, maka hendaklah disusukan anaknya
kepada perempuan lain yang jelas idetitasnya dan baik ahklaknya, dan
jika ingin disusukan anaknya hendaklah diadakan perjanjian
sebelumnya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan